Pengertian Ijtihad Dalam Ilmu Fiqh



Ta'rif

Dari segi bahasa , arti Ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan "Ijtihad" tidak di gunakan kecuali untuk perbuatan yang harus di lakukan dengan susah payah. Menurut istilah Ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syari'at.

Hukum Ijtihad

1. Wajib 'ain, bagi sesorang yang di tanya tentang sesuatu peristiwa sedang peristiwa tersebut akan hilang (habis) sebelum di ketahui hukumnya. Demikian pula Wajib 'ain, apabila peristiwa tersebut di alami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.


2. Wajib Kifayah, bagi sesorang yang di tanyai tentang sesuatu peristiwa dan tidak di khawatirkan habisnya atau hilangnya peristiwa tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid lain apa bila semuanya meninggalkan ijtihad, maka mereka berdosa.

3. Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu peristiwa yang belum terjadi, baik di nyatakan atau tidak.

Syarat-Syarat Ijtihad

1. Mengetahui nas Qur'an dan Hadis.
2. Mengetahui soal-soal Ijma' ,sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan Ijma', kalau ia memegangi ijma', dan memandangnya sebagai dalil syara'.
3. Mengetahui bahasa Arab, sehingga dapat mengerti idem-idemnya.
4. Mengetahui Usul Fiqh dan harus kuat dalam ilmu ini, karena ilmu fiqh menjadi dasar dan pokok ijtihad.
5. Mengetahui Nasikh dan Mansukh, sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasar dalil yang sudah di mansukh.

Masalah Yang Di Ijtihadkan

Masalah yang di ijtihadkan, ialah tiap-tiap hukum syara' yang tidak ada dalilnya yang pasti. Jadi tidak di lakukan ijtihad terhadap hukum-hukum akal dan soal-soal ilmu kalam . Juga tidak di ijtihadkan soal-soal yang ada dalilnya yang pasti, seperti shalat lima waktu, zakat dan lain-lain.

Cara Melakukan Ijtihad

Seseorang yang hendak berijtihad haruslah memperhatikan urut-urutan di bawah ini. Apa bila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatannya, barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutnya. Demikianlah seterusnya urut-urutan tersebut adalah sbb:

1. Dalil Mantuq:
a. Nas-nas Qur'an
b. Nas-nas hadis mutawatir
c. Nas-nas hadis ahad
d. Zhahir Qur'an
e. Zhahir hadis.
II. Dalil Mafhum:
1. Mafhum Qur'an
2. Mafhum Hadis
III. Perbuatan-perbuatan Nabi
IV. Taqrir-taqrir Nabi
V. Qiyas
VI. Baraah asliyah.
Kalau ia menghadapi dalil-dalil yang berlawanan hendaklah ia pertama-tama :
a. Mengumpulkan (jama')
b. Menarjih (menguatkan salah satunya)
c. Menasakh-kan
d. Tawaqquf
e. Menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya.

Tingkatan-Tingkatan Mujtahid

1. Mujtahid mutlaq, yaitu yang mempunyai syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu mazhab.

2. Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat ijtihad, tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu mazhab, karena mengikuti jalan-jalan yang telah di bentangkan oleh Imam mazhab tersebut dalam berijtihad
3. Mujtahid muqaiyad, yaitu orang yang terikat kepada Imam, karena tidak mau keluar dari dalil-dalil Imam tersebut, sungguhpun ia sendiri bisa menilai dalil-dalil.

Kebenaran Ijtihad

Ilmu ini di bagi dua yakni "qat'i dan zhanni". qat'i ada kalanya, ilmu kalam atau ilmu usul atau ilmu fiqih. Dalam ketiga ilmu ini, yang benar hanya satu dan yang menyalahinya adalah salah dan berdosa.

Dalam ilmu fiqih, selain soal-soal qat'i (pasti) seperti shalat, puasa, larangan zina dan lain-lain, ada soal zhanni yang tidak ada dalilnya yang qat'i. Maka soal-soal inilah yang menjadi lapangan ijtihad. Dalam soal-soal zhanni tersebut tidak berdosa apa bila ijtihadnya tidak benar.

Pembatalan Ijtihad

Apa bila seseorang telah berijtihad untuk dirinya sendiri tentang hukum sesuatu peristiwa dan telah beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya, kemudian ia memperoleh ijtihadnya, maka ia harus membatalkan apa yang di perbuat berdasar ijtihadnya yang pertama.

Apa bila berijtihad adalah hakim dan ia telah menghukum sesuai dengan hasil ijtihadnya, kemudian berobah lagi ijtihadnya, maka ia tidak boleh membatalkan keputusan yang telah di berikannya.

Ijtihad Bagi Nabi-Nabi

Para Ulama telah sepakat bolehnya berijtihad bagi Nabi-Nabi dalam hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan dunia dan soal-soal peperangan. Nabi pernah hendak berdamai dengan Bani Ghathafan dengan memberikan buah kurma Madinah.

Adapun ijtihad Nabi-Nabi dalam hukum-hukum syari'at , maka masih menjadi perselisihan. Menurut golongan Asy'ari, Nabi-Nabi tidak boleh berijtihad sebab mereka bisa menanti Wahyu.

Menurut Jumhur, Navi-Nabi boleh berijtihad, kalau seseorang boleh berijtihad sedang ia tidak terhindar dari kemungkinan luput, mengapa Nabi-Nabi tidak boleh berijtihad, pada hal mereka terjamin dari keluputan.

Ijtihad Bagi Sahabat-Sahabat

Para ahli usul tidak sama pendapatnya tentang kebolehan ijtihad bagi sahabat-sahabat di masa Rasul. Pendapat yang kuat membolehkan ijtihad sahabat-sahabat, baik di kala berdekatan dengan Rasulullah ataupun ketika berjauhan .

Nabi berkata kepada 'Amr bin Ash " Putuskan beberapa perkara ", 'Amr berkata:" Apa bila saya boleh berijtihad sedang tuan masih ada ?" Jawab Nabi:"Ya, Apa bila benar, kamu mendapat dua pahala". Apa bila tidak benar kamu mendapat satu pahala.